
Jakarta – Guru Besar Ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof. Tria Astika Endah Permatasari, menegaskan bahwa daun kelor tidak dapat menggantikan susu dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Prof. Tria, manfaat gizi yang terkandung dalam susu berbeda secara signifikan dengan produk nabati seperti daun kelor.
Dalam diskusi yang digelar di Jakarta pada Rabu (15/1/ 2025) Rumah Wiajaya Kebayoran Jakarta Selatan, Prof. Tria menjelaskan bahwa susu, sebagai cairan bergizi yang dihasilkan mamalia, memiliki kandungan penting seperti Omega-3, Omega-6, dan asam oleat yang mendukung pertumbuhan anak, khususnya perkembangan otak. “Daun kelor memang kaya antioksidan dan vitamin C untuk meningkatkan imunitas, namun tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan berat badan dan tinggi badan anak secara optimal,” ungkapnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, sempat menyampaikan bahwa susu sapi dalam program MBG bisa digantikan dengan alternatif seperti telur dan daun kelor. Namun, Prof. Tria menilai langkah tersebut perlu dievaluasi. “Meskipun susu bukan satu-satunya sumber gizi, kandungannya lengkap dan penting untuk tumbuh kembang anak, baik dari sisi makronutrien maupun mikronutrien,” tambahnya.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan pada 6 Januari 2025 oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, bertujuan untuk mendistribusikan makanan bergizi untuk anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Hingga kini, program tersebut telah berjalan di 26 provinsi dengan dukungan 220 dapur MBG yang menyediakan makanan sesuai prinsip gizi seimbang.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyarankan agar program MBG diatur melalui undang-undang guna menjamin keinginan, terutama jika terjadi pergantian pemerintahan. “RUU terkait Badan Gizi Nasional atau Pemenuhan Makanan Bergizi perlu dipertimbangkan agar program ini tidak hanya menjadi proyek jangka pendek,” ujarnya.
Meski program ini telah berjalan, berbagai tantangan masih harus dihadapi, termasuk keterbatasan produksi susu di dalam negeri. Beberapa pihak merekomendasikan penggunaan alternatif seperti susu ikan atau daun kelor yang lebih ekonomis, tetapi kritik muncul terkait keterbatasan kandungan nutrisi pengganti tersebut. Zat besi yang diketahui dalam daun kelor, misalnya, sulit diserap tubuh dibandingkan nutrisi yang terkandung dalam susu.
Selain itu, edukasi mengenai manfaat susu dan perbedaan kandungan nutrisi antarjenis susu menjadi hal penting dalam memastikan keberhasilan program MBG. Prof Tria juga menekankan pentingnya sanitasi dan kebersihan dalam penyajian makanan di dapur MBG. “Perubahan pola makan anak membutuhkan waktu dan pembiasaan, tetapi ini sangat penting untuk membentuk perilaku makan yang sehat di masa depan,” jelasnya.
Program MBG yang menargetkan lebih dari 80 juta penerima manfaat pada tahun 2029, diharapkan dapat menjadi langkah besar dalam membangun generasi emas 2045 yang sehat dan cerdas. Namun, peran serta masyarakat, media, dan pemangku kepentingan lain diperlukan untuk mendukung edukasi dan penyadaran tentang pentingnya makanan bergizi, terutama susu, dalam mendukung tumbuh kembang anak-anak Indonesia.