
KOREA SELATAN. Vs INDONESIA: Dua jalan berbeda
Oleh: Laksamana Sukardi
Pada tahun 1970, Indonesia dipimpin Jenderal Soeharto dan Korea Selatan dipimpin Jenderal Park Chung Hee, memulai pembangunan ekonomi dengan kebijakan pemberian insentif dan kemudahan kepada para pengusaha konglomerat.
KOREA SELATAN: Insentif dengan disiplin
Insentif ekonomi yang diberikan kepada konglomerat (Chaebol) di Korea Selatan diikat dengan kewajiban untuk mencapai target ekspor yang tinggi untuk produk industri manufaktur yang berlandaskan inovasi; seperti barang elektronik, semi konduktor dan teknologi.
Hasilnya, perusahaan Chaebol Korea Selatan (Samsung, LG, Hyundai, SK Group, POSCO ) berhasil menguasai pasar internasional produk teknologi inovatif.
Bahkan produk sinematografi Korsel berhasil mendunia. Drama Korea yang dikenal dengan “drakor” dan musik K-Pop berhasil tembus ke manca negara dan Hollywood, termasuk ke Indonesia.
Kebijakan insentif yang dikaitkan dengan syarat ketat atas kinerja ekspor tersebut berhasil menyukseskan transformasi Korea Selatan dari negara miskin agraris menjadi negara industri maju dengan pendapatan per kapita tahun 2023 melampaui US$35,000 (kategori Negara Maju), sedangkan Indonesia pada tahun yang sama masih berada dikisaran US$4,000-5,000 (kategori Negara Penghasilan Menengah), padahal tahun 1970 kedua negara tersebut masih menyandang kategori Negara Penghasilan rendah.
Beberapa indikator sukses lainnya antara lain;
Pendapatan 5 perusahaan Chaebol tahun 2024 mencapai Rp9.180 Trilyun (US$55,4B ) dan 78% berasal dari hasil ekspor.
Pangsa pasar telepon genggam produk Samsung di dunia mencapai 20%. Pangsa pasar global smart TV yang dikuasai oleh Samsung dan LG sebesar 44.3%. Dengan demikian mereka berhasil menggerus dominasi pangsa pasar smart TV buatan Sony dari Jepang yang tinggal hanya 5,4%.
INDONESIA: Insentif tanpa inovasi
Berbeda dengan Korea Selatan, Indonesia menerapkan pemberian insentif ekonomi dalam bentuk konsesi sumber daya alam, akses kredit murah, lisensi perbankan dan monopoli dagang, kepada perusahaan/perorangan berdasarkan “kedekatan politik” yang juga dikenal dengan metode “patron-client” atau model usaha Ali-Baba.
Praktek seperti ini, telah membentuk pengusaha Indonesia menjadi pengusaha berkarakter “pemburu rente”.
Teori “pemburu rente” pertama kali dikemukakan oleh Gordon Tullock (1967) lalu dikembangkan oleh Anne Kruger (1974) yang artinya seseorang atau sebuah perusahaan mencari keuntungan dengan manipulasi situasi ekonomi menggunakan “kedekatan politik” dengan mempengaruhi pembuatan aturan-aturan, regulasi, tarif dan lainnya tanpa melalui perdagangan bebas, transparan dan kompetisi.
“Kedekatan politik” tersebut berkembang menjadi “komoditas fiktif” yang diperdagangkan sehingga membuat rangkaian rantai panjang ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dan membuat produk Indonesia tidak mampu bersaing. Semakin besar kedekatan politik semakin mahal harganya.
Disadari atau tidak, model pertumbuhan ekonomi dengan mesin “pemburu rente” memiliki lima konsekuensi destruktif sbb:
1. Pelarian modal keluar negeri untuk menghindari risiko pergantian kekuasaan. Hasil ekspor Sumber Daya Alam diparkir di luar negeri melalui manipulasi harga (transfer pricing) 2. Pembagian keuntungan ekonomis pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkeadilan (porsi keuntungan negara disengaja menjadi kecil). 3. Penegakan hukum yang tidak adil dan bersifat selektif. Menimbulkan ke tidak-pastian hukum dan menjadi hambatan bagi masuknya investasi modal asing. 4. Terjadi kesenjangan ekonomi yang sangat besar. 5. Terjadi kesalahan fatal dalam alokasi modal dan sumber daya alam yang menghilangkan efektifitas dan produktifitas pembangunan
Akibatnya, Indonesia melahirkan orang orang kaya yang berasal dari pemegang konsesi sumber daya alam (tambang, hutan) dan monopoli dagang atau kegiatan ekonomi ilegal (pencurian ikan, tambang, judi, penyelundupan barang/narkoba dan makelar kasus hukum).
Berbeda dengan Korea Selatan dan negara maju lainnya, hanya sedikit orang kaya Indonesia dari hasil inovasi teknologi (brain ware) dan industri berbasis ekspor.
Banyaknya pengusaha “pemburu rente” membuat perekonomian Indonesia tidak mampu menghasilkan produk ekspor kompetitif berbasis inovasi. Oleh karena itu produk ekspor Indonesia didominasi oleh komoditas sumber daya alam.
Dengan demikian, kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh konsumsi domestik (domestik consumption) atau belanja rumah tangga yang mencapai 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan porsi konsumsi yang besar didominasi oleh belanja dari hasil korupsi dan kegiatan pencucian uang.
Ekonomi dengan “pemburu rente” sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) bersifat rapuh (fragile) dan tidak akan tumbuh berkelanjutan dalam jangka panjang. Hal ini terbukti dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998 yang sangat destruktif.
Oleh karena itu sangat sulit bagi Indonesia untuk naik kelas menjadi negara maju sejahtera dan bahkan akan sulit untuk keluar dari status negara berpendapatan menengah (middle income trap).
50 tahun: Menempuh jalan berbeda
Ternyata insentif ekonomi disertai disiplin ekspor dan inovasi yang ditempuh Korea Selatan terbukti berhasil mencapai lompatan jauh menuju kesejahteraan dan lebih baik dibandingkan dengan jalan insentif ekonomi kepada “pemburu rente” yang ditempuh Indonesia. Kesimpulan tersebut nampak jelas dan dapat dilihat dari kurva pembanding sbb:
Tabel perbandingan pendapatan per kapita Indonesia vs Korea Selatan (1970–2023).
Dalam kurun waktu 50 tahun lebih, Indonesia telah membuang kesempatan dan waktu, bahkan eksploitasi sumber alam telah terbukti menjadi mubazir. Dalam waktu 50 tahun, Korea Selatan telah berhasil sedangkan Indonesia Indonesia telah gagal menjadi negara maju berpenghasilan tinggi karena Indonesia terbelenggu oleh para “pemburu rente” yang bersifat destruktif destruktif.
Pertanyaan yang harus kita jawab bersama; “Apa yang akan kita wariskan kepada generasi baru Indonesia 50 tahun yang akan datang?